APLIKASI
LAPANGAN KERJA KONSELOR
A. Konseling
Pranikah
Brammer dan
Shostrom (1982) mengemukakan tujuan konseling pranikah yaitu membantu patner
pranikah (klien) untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang dirinya,
masing-masing pasangan, dan tuntutan-tuntutan perkawinan. Tujuan yang bersifat
jangka panjang yaitu dikemukakan H. A. Otto (1965), yaitu membantu pasangan
pranikah untuk membangun dasar-dasar yang dibutuhkan untuk kehidupan pranikah
yang bahagia dan produktif.
Konseling
pranikah dianggap penting karena digunakan untuk membuat perencanan yang matang
dengan cara melakukan asesmen terhadap dirinya yang dikaitkan dengan perkawinan
dan kehidupan berumah tangga.
Aspek yang perlu diasesmen
Aspek yang perlu
diasesmen dan dipahami konselor jika melakukan konseling pranikah yaitu sebagai
berikut:
a. Riwayat
Perkenalan
Konselor perlu mengetahui riwayat
perkenalan pasangan pranikah, mulai dari perkenalan (seberapa lama perkenalan
berlangsung), bagaimana merekah mengetahui satu sama lain. Misalnya mengenai
pembicaraan tentang nilai, tujuan, dan harapan terhadap hubungan pranikah.
b. Perbandingan
Latar Belakang Pasangan
Kesetaraan latar belakang lebih baik
dalam penyesuaian pernikahan dari pada latar belakang yang berbeda. Konselor
perlu mengungkapkan latar belakang pendidikan, budaya keluarga, status sosial
ekonominya, dan perbedaan agama, serta adat istiadat keluarganya.
c. Sikap
Keluarga Keduanya
Sikap keluarga terhadap rencana
pernikahan, termasuk bagaimana sikap mertua dan sanak keluarga terhadap
keluarga nantinya. Sikap keluarga penting untuk mempersiapkan pasangan dalam
menyikapi masing-masing keluarga calon pasangannya.
d. Perencanaan
Terhadap Pernikahan
Meliputi rumah yang akan ditempati,
sistem keuangan keluarga yang hendak disusun dan apa yang dipersiapkan
menjelang pernikahan.
e. Faktor
Psikologis dan Kepribadian
Faktor psikologis dan kepribadian yang
perlu diasesmen adalah sikap mereka terhadap peran seks dan bagaimana yang
hendak dijalankan dikeluarga nanti, bagaimana peran merekah terhadap dirinya
(self image, body-image), dan usaha apa yang akan dilakuakn untuk keperluan
keluarga nanti.
f. Sifat
Prokreatif
Menyangkut sikap mereka terhadap
hubungan seksual dan sikapnya jika memiliki anak. Bagaimana rencana mengasuh
anaknya kelak.
g. Kesehatan
dan Kondisi fisik
Kesesuaian usia untuk mengukur
kematangan emosionalnya secara usia kronologis, kesehatan secara fisik dan
mental, serta faktor-faktor genetik.
Prosedur konseling pranikah
Konseling
pranikah diselenggarakan sebagaimana sesuai prosedur konseling perkawinan.
Penekanan pada konseling pranikah bersifat antisipatif yaitu mempersiapkan diri
untuk menetapkan pilihan yang tepat sehubungan dengan rencana pernikahanya.
B. Konseling
Pernikahan
Konseling perkawinan
Konseling
perkawinan memiliki beberapa istilah, yaitu couples counseling, marriage
counseling, dan marital counseling.
Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai konseling yang
diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan
emosional, metode membantu patner-patner yang menikah untuk memecahkan masalah
dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Perbandingan konseling perkawinan dan keluarga
Perbedaan antara
konseling keluarga dan konseling perkawinan dilakukan untuk memberikan
penekanan pada masing-masing jenis, berhubungan dengan orang-orang yang
terlibat dalam proses konseling. Secara umum, konseling keluarga dibatasi
sebagai konseling yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga, misalnya
hubungan peran di keluarga, masalah komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga,
dan ketegangan orang tua-anak. Sementara, konseling perkawinan lebih menekankan
pada masalah-masalah pasangan (suami-istri).
Menurut
Patterson (1980) kedua konseling tersebut memiliki prosedur yang sama.
Konseling perkawinan pada dasarnya sebuah prosedur konseling keluarga yang dikembangkan
dari konflik hubungan perkawinan dan menekankan pada hubungan perkawinan tanpa
mengabaikan nilai konseling individual. Konseling keluarga dilakukan jika
masalah yang dialami oleh anggota keluarga secara jelas tidak dapat
dipecahkan tanpa adanya keterlibatan bersama-sama anggota keluarga yang bersangkutan.
Yang termasuk dalam masalah keluarga (konflik perkawinan, persaingan sesaudara,
dan konflik antar generasi khususnya orang tua-anak).
Permasalahan perkawinan
Menurut Klemer
(1995) ada 3 masalah yang mungkin dihadapi dalam konseling perkawinan yaitu
sebagai berikut:
1)
Adanya harapan
perkawinan yang tidak realistis. Pada saat merencanakan pernikahan pasangan
tentunya memiliki harapan-harapan tertentu sehingga menetapkan
untuk menikah.
2)
Kurang pengertian
antara satu dengan yang lainnya. Pasangan suami istri seharusnya memahami
pasangannya masing-masing, tentang kesulitannya, hambatan-hambatannya,dan hal
lain yang terkait dengan hal pribadi pasangannya. Jika salah satu atau keduanya
tidak saling memahami dapat mengalami kesulitan dalam hubungan perkawinan.
3)
Kehilangan ketetapan
untuk membangun keluarga secara langgeng. Sebagai suatu keluarga yang tidak
dapat lagi dipertahankan. Sekalipun sudah cukup waktu membangun keluarga,
mempertahankan keluarga bagi suatu pasangan sangat sulit. Mereka melihat bahwa mempertahankannya
tidak membawa kepuasan sebagaimana yang diharapkan (satisfaction) bagi dirinya.
Hal
yang menjadi problem, kurangnya kesetiaan salah satu atau kedua belah pihak,
memiliki hubungan ekstramarital pada salah satu atau kedua belah pihak, dan
perpisahan di antara pasangan. Problem-problem perkawinan dapat dipecahkan
melalui konseling asalkan kedua belah pihak (pasangan) berkeinginan
untuk menyelesaikannya. Tetapi jika tidak ada motivasi untuk menyelesaikan
persoalan hubungan perkawinannya maka tidak mungkin dapat diatasi melalui
konseling.
Tujuan konseling perkawinan
Konseling
perkawinan dilaksanakan tidak bermaksud untuk mempertahankan suatu keluarga. Menurut
Brammer dan Shostrom (1982) bahwa konseling perkawinan dimaksudkan membantu
klien-kliennya untuk mengaktualkan dari yang menjadi perhatian dan masalah pribadi,
apakah dengan jalan bercerai/tidak.
Dalam konseling
perkawinan, konselor membantu klien (pasangan) untuk melihat realitas yang
dihadapi, dan mencoba menyusun keputusan yang tepat bagi keduanya. Keputusannya
dapat berbentuk menyatu kembali, berpisah, cerai, untuk mencari kehidupan yang
lebih harmoni, dan menimbulkan rasa aman bagi keduanya. Secara lebih rinci
tujuan jangka panjang konseling perkawinan menurut Huff dan Miller (Brammerdan
Shostorm, 1982) adalah sebagai berikut:
1) Meningkatkan
kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling empati di antara partner.
2) Meningkatkan
kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing-masing.
3) Meningkatkan
saling membuka diri.
4) Meningkatkan
hubungan yang lebih intim.
5) Mengembangkan
ketrampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan mengelola konfliknya.
Asumsi-asumsi konseling perkawinan
Beberapa asumsi
yang mendasari penyelenggaraan konseling perkawinan yaitu sebagai berikut:
a. Konseling
perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan, bukan pada kepribadian
masing-masing partner. Konselor tidak menekankan untuk mengetahui secara
mendalam kepribadian setiap klien yang akan datang dan bagaimana hubungan yang
terjadi selama ini di antara pasangan tersebut. Konselor melihat ke belakang
(aspek kepribadian, termasuk riwayat-riwayat masa lalunya) jika dibolehkan, tetapi
menekankan bagaiman sifat kesulitan yang dihadapinya serta menyangkut hubungan
kedua belah pihak.
b. Masalah
yang dihadapi kedua belah pihak adalah mendesak (akut), sehingga konseling
perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan langsung (directive) untuk memecahkan
masalah.
c. Masalah
yang dihadapi pasangan adalah masalah-masalah normal. Masalah normal adalah
masalah kehidupan pasangan yang umum dialami oleh keluarga, hanya saja keduanya
mengalami kesulitan dalam mengatasi konflik-konfliknya.
Tipe-tipe konseling perkawinan
Para ahli
membedakan ada empat tipe konseling perkawinan, yaitu concurrent,
collaborative, conjoint, dan couples group counseling (Capuzzi dan Gross,
1991).
1) Concurrent
Marital Counseling
Konselor yang sama melakukan konseling
secara terpisah pada setiap partner. Metode ini digunakan ketika salah seorang
partner memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan tersendiri,
selain juga mengatasi masalah yang berhubungan dengan pasangannya.
2) Collaborative
Marital Counseling
Setiap partner secara individual
menjumpai konselor yang berbeda. Konseling ini terjadi ketika seorang partner
lebih suka menyelesaikan masalah hubungan perkawinannya, sementara konselor
yang lain menyelesaikan masalah lain yang menjadi perhatian kliennya. Konselor
kemudian bekerjasama satu sama lain, membandingkan hasil konselingnya dan
merencanakan strategi intervensi yang sesuai.
3) Conjoint
Marital Counseling
Suami istri bersama-sama datang ke konselor.
Kemudian kedua partner dimotivasi untuk bekerja dalam hubungan, penekanan pada
pemahaman dan modifikasi hubungan. Dalam Conjoint Counseling konselor secara
simultan melakukan konseling terhadap kedua partner.
4) Couples
Group Counseling
Beberapa pasangan secara bersama-sama
datang ke seorang atau beberapa
konselor. Pendekatan ini sebagai pelengkap conjoint counseling. Cara ini
dapat mengurangi kedalaman situasi emosional antara pasangan, selanjutnya
mereka belajar dan memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
Peranan konselor
Dalam konseling
perkawinan, terdapat beberapa peran yang harus dilakukan konselor agar
konseling dapat berlangsung secara efektif, yaitu:
a. Menciptakan
hubungan (rapport ) dengan klien
b. Memberi
kesempatan kepada klien untuk melakukan ventilasi, yaitu membuka
perasaan-perasaannya secara leluasa dihadapan pasangannya
c. Memberikan
dorongan dan menunjukkan penerimaannya kepada kliennya
d. Melakukan
diagnosis terhadap kesulitan-kesulitan klien
e. Membantu
klien untuk menguji kekuatan-kekuatannya, dan mencari kemungkinan alternative
dalam menentukan tindakannya.
Langkah-langkah konseling
Langkah
konseling yang dapat dilakukan dalam konseling keluarga dan perkawinan menurut
Capuzzi dan Gross (1991) adalah sebagai berikut:
a) Persiapan,
tahap yang dilakukan klien menghubungi konselor.
b) Tahap
keterlibatan (the joining), adalah tahap keterlibatan bersama klien. Pada tahap
ini konselor mulai menerima klien secara isyarat (nonverbal) maupun secara
verbal, merefleksi perasaan, melakukan klarifikasi dan sebagainya.
c) Tahap
menyatakan masalah, yaitu menetapkan masalah yang dihadapi oleh pasangan. Maka,
masalahnya harus jelas, siapa yang bermasalah, apa indikasinya, apa yang telah
terjadi dan sebagainya.
d) Tahap
interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi untuk penyelesaian masalah.
Pada tahap ini anggota keluarga mendapatkan informasi yang diperlukan
untuk memahami masalahnya dan konselor dapat melatih anggota keluarga berinteraksi
dengan cara-cara yang dapat diikuti (pelan, sederhana, detail dan jelas) dalam
kehidupan mereka.
e) Tahap
konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan hipotesis dan memformulasi
langkah-langkah pemecahan. Pada tahap ini konselor mendesain langsung atau
memberI pekerjaan rumah untuk melakukan atau menerapkan pengubahan ketidak
berfungsinya perkawinan.
f) Tahap
penentuan tujuan, tahap yang dicapai klien telah mencapai perilaku yang normal,
telah memperbaiki cara berkomunikasi, telah menaikkan self-esteem dan membuat
keluarga lebih kohesif.
g) Tahap
akhir dan penutup, merupakan kegiatan mengakhiri hubungan konseling setelah
tujuannya tercapai.
Kesulitan dan keuntungan konseling perkawinan
Konseling
perkawinan dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, karena orang yang ditangani
adalah bermasalah, dan masalahnya menyangkut hubungan satu dengan yang lainnya.
Konselor harus dapat memberikan perhatian yang sama kepada keduanya. Jika, tidak
seimbang dalam memberikan perhatian dapat menimbulkan akibat buruk bagi yang
merasa kurang memperoleh perhatian. Maka, konselor tidak dibolehkan mengesampingkan
salah satu di antara pasangan yang berkonsultasi.
Dalam konseling
perkawinan, yang menggunakan conjoint counseling, dapat menimbulkan kesulitan
terutama jika kliennya merasa tidak aman, kurang terbuka, karena keduanya
bersama-sama hadir dan mendengarkan apa yang dibicarakan oleh partnernya.
Namun, konseling
perkawinan (khususnya conjoint ) terdapat beberapa keunggulannya jika
dibandingkan dengan konseling individual, di antaranya yaitu:
a) Konselor
dan pasangan klien dapat mengidentifikasi distorsi karena pasangannya mengikuti
konseling secara bersama.
b) Dapat
dengan mudah untuk mengetahui konflik-konflik di antara pasangan dan
transferensi yang terjadi pada pasangan.
c) Terfokus
pada hubungan pasangan saat ini, dalam pengertian konseling terfokus pada
kehidupan sejak awal pernikahannya sampai kehidupan yang terakhir.
C. Konseling
Keluarga
Konseling
keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus.
Konseling keluarga secara khusus memfokuskan pada masalah yang berhubungan dengan
situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Menurut D.
Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konseling karena konseling
keluarga sebagai sebuah modalitas yakni klien adalah anggota dari suatu
kelompok, yang dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan
(Capuzzi, 1991).
Awalnya konseling
keluarga diarahkan untuk membantu anak agar dapat beradaptasi lebih baik untuk
mempelajari lingkungannya melalui perbaikan lingkungan keluarganya (Brammer dan
Shostrom, 1982). Sesuai dengan pendapat Golden dan Sherwood (1991), menjelaskan
bahwa konseling keluarga merupakan metode yang difokuskan pada keluarga dalam
usaha untuk membantu memecahkan problem perilaku anak.
Menurut Crane
(1995), konseling keluarga merupakan proses pelatihan terhadap orang tua dalam
hal metode mengendalikan perilaku yang positif dan membantu orang tua dalam
perilaku yang dikehendaki. Jadi, dalam konseling keluarga yang menjadi unit
terapinya yaitu keluarga sehubungan dengan masalah yang dihadapi oleh anggota
keluarga tersebut.
Masalah-masalah keluarga
Pada
masa lalu, menurut Moursund (1990), konseling keluarga terfokus pada anak yang
mengalami bantuan yang berat seperti gangguan perkembangan dan skizofrenia,
yang menunjukan jelas-jelas mengalami gangguan.
Konseling
keluarga menangani masalah lain seperti anggota keluarga mengalami kondisi yang
kurang harmonis di dalam keluarga akibat stressor perubahan-perubahan budaya,
cara baru dalam mengatur keluargannya, dan cara menghadapi dan mendidik
anak-anak mereka. Dalam penanganan konseling keluarga, masalah yang dihadapi
dan dikonsultasikan kepada konselor antara lain, seperti keluarga dengan anak
yang tidak patuh terhadap harapan orang tua, konflik antar anggota keluarga,
perpisahan diantara anggota keluarga karena kerja di luar daerah, dan anak yang
mengalami kesulitan belajar atau sosialisasi.
Konseling
keluarga memiliki beberapa keuntungan. Namun, konseling keluarga juga memiliki
beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut:
1. Tidak
semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses konseling karena mereka
menganggap tidak berkepentingan dengan urusan tersebut, atau karena alasan
kesibukan, dan sebagainya.
2. Ada
anggota keluarga yang merasa kasulitan untuk menyampaikan perasaan dan sikapnya
secara terbuka dihadapan anggota keluarga lain, padahal konseling membutuhkan
keterbukaan dan saling percaya satu sama lain.
Pendekatan
konseling keluarga
Tiga
pendekatan konseling keluarga yang akan diuraikan berikut ini, yaitu pendekatan
sistem, conjoint, dan struktural.
1. Pendekatan
Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletek dasar
pendekatan sistem. Menurutnya anggota keluarga bermasalah jika keluarga itu
tidak berfungsi (disfunctioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota
keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur
dalam hubungan mereka.
Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat
kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat
membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian
anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu
yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika
hendak menghindari dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan
diri dari sistem keluarga (harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya
bukan emosionalnya).
2. Pendekatan
Conjoint
Menurut Satir (1967) masalah yang
dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan harga diri (self-esteem) dan
komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting bagi keperluan
komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self-esteem yang dibentuk
keluarga sangat rendah dan komunikasi di keluarga tidak baik. Satir mengemukakan
pandangannya dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi bermasalah jika tidak
mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang dikomunikasikan anggota
keluarga yang lain.
3. Pendekatan
Struktural
Minuchin (1974) beranggapan bahwa
masalah keluarga sering terjadi karena struktur kaluarga dan pola transaksi
yang dibangun tidak tepat. Maka, jika dijumpai keluarga yang bermasalah perlu
dirumuskan kembali struktur keluarga dengan memperbaiki transaksi dan pola
hubungan yang baru yang lebih sesuai. Berawal dari analisis terhadap masalah
yang dialami oleh keluarga maka konselor dapat menetapkan strategi yang tepat
untuk mambantu keluarga.
Tujuan konseling keluarga
Bowen menegaskan
bahwa tujuan konseling keluarga yaitu memebantu klien untuk mencapai individualista,
menjadi dirinya sebagai hal yang berbeda dari sistem keluarga. Tujuan ini
relevan dengan pandangan tentang masalah keluarga yang berkaitan dengan
kehilangan kebebasan anggota keluarga akibat dari peraturan dan kekuasaan
keluarga.
Satir menekankan
tujuan konseling mereduksi sikap defensif di dalam dan antar anggota keluarga.
Oleh karena itu, anggota keluarga perlu membuka inner experience (pengalaman
dalamnya) dengan tidak “membekukan” interaksi antar anggota keluarga.
Minuchin
mengemukakan bahwa tujuan konseling keluarga adalah mengubah struktur dalam
keluarga, dengan cara menyusun kembali kesatuan dan menyembuhkan perpecahan
antara dan sekitar anggota keluarga. Glick dan Kessler (Goldenberg, 1983)
mengemukakan tujuan umum konseling keluarga adalah sebagai berikut:
a. Memfasilitas
mengganti gangguan, ketidak-fleksibelan peran dan kondisi
b. Memberi
pelayanan sebagai model dan pendidik peran tententu yang ditunjukkan kepada
anggota lainnya
Bentuk konseling keluarga
Kecenderungan
pelaksanaan konseling keluarga adalah sebagai berikut:
a. Memandang
klien sebagai pribadi dalam konteks sistem keluarga. Klien merupakan bagian
dari sistem keluarga, sehingga masalah yang di alami dan pemecahannya tidak
dapat mengesampingkan peran keluarga.
b. Berfokus
pada apa yang diatasi dalam konseling keluarga adalah masalah-masalah yang
dihadapi klien pada saat ini, bukan masa lalu. Oleh karena itu, masalah yang
diselesaikan bukan pertumbuhan personal yang bersifat jangka panjang.
Bentuk dari
konseling keluarga dapat terdiri dari ayah, ibu, dan anak sebagai bentuk
konvensionalnya. Selain itu juga bentuk konseling keluarga dikembangkan dalam
bentuk lain, misalnya ayah dan anak laki-laki, ibu dan anak perempuan, ayah dan
anak perempuan, ibi dan anak laki-laki, dan sebagainya (Ohlson, 1977).
Peran konselor
Peran konselor dalam membantu klien
dalam konseling keluarga dan perkawinan dikemukakan oleh Satir (Cottone, 1992)
di antaranya sebagai berikut:
1) Konselor
berperan sebagai “facilitative a comfortable”, membantu klien melihat secara
jelas dan objektif dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.
2) Konselor
menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi
3) Berusaha
menghilangkan pembelaan diri dan keluarga
4) Membelajarkan
klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk bertanggung jawab dan malakukan
self-control
5) Konselor
menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan
menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota keluarga
6) Konselor
menolak pembuatan penilaian dan membantu menjadi congruence dalam respon-respon
anggota keluarga
Proses dan tahapan konseling keluarga
Awalnya seorang
klien datang ke konselor pertama kali bersifat “identifikasi pasien”. Tetapi
untuk tahap penanganan (treat)
diperlukan kehadiran anggotannya. Karena tidak mungkin mendengarkan peran,
status, nilai, dan norma keluarga jika tidak ada kehadiran angota keluarganya
(Menurut Satir). Pelaksanaan konseling walaupun bersifat spekulatif,
pelaksanaannya dapat dilakukan secara kombinatif setelah konseling individual
lalu dengan kelompok dan sebaliknya (Brammer dan Shostrom, 1982).
Tahapan
konseling keluarga secara garis besar dikemukakan oleh Crane (1995:231-232)
yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk mengatasi anak
berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, Crane menggunakan pendekatan
behavioral, yang disebutkan terhadap empat tahap secara berturut-turut yaitu
sebagai berikut:
1) Orangtua
membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku alternatif. Hal ini
dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca dan sesi pengajaran
2) Setelah
orang tua membaca tentang prinsip dan telah dijelaskan materinya, konselor
menunjukan kepada orang tua bagaimana cara mengajarkan kepada anak, sedangkan
orang tua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan tentang
bagaimana hal ini dikerjakan.
Secara tipikal, orang tua akan membutuhkan
contoh yang menunjukan bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang beroposisi.
Sangat penting menunjukan kepada orang tua yang kesulitan dalam memahami dan
menetapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
3) Selanjutnya
orang tua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah mereka
pelajari menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat memberi
koreksi ika dibutuhkan.
4) Setelah
terapis memberi contoh kepada orang tua cara menangani anak secara tepat.
Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orang tua mencoba menerapkannya di
rumah. Saat dicoba di rumah, konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati
kemajuan yang dicapai. Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orang tua
dapat ditanyakan pada saat ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut,
terapis dapat memberikan contoh lanjutan di rumah dan observasi orang tua,
selanjutnya orang tua mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya
mengatasi persoalan sehubungan dengan masalah anaknya.
Kesalahan umum dalam konseling keluarga
Crane (1995)
mengemukakan sejumlah kesalahan umum dalam penyelenggaraan konseling keluarga
diantaranya sebagai berikut:
a. Tidak
berjumpa dengan seluruh keluarga untuk mendiskusikan masalah yang dihadapi.
Yang baik seluruh anggota keluarga terlibat dalam konseling.
b. Pertama
orang tua dan anka datang ke konselor bersama-sama, yang baik yaitu mengajak
anak untuk berbicara, memperhatikan apa yang mereka kemukakan, dan meresponnya
secara tepat.
c. Mengilmiahkan
dan mendiskusikan masalah kepada orang tua dan bukan menunjukkan cara
penanganan masalah aynag dihadapi dalam situasi kehidupan yang nyata.
d. Melihat
untuk menjelaskan perilaku anak dan orang tua, bukan mengajarkan cara untuk
memperbaiki masalah yang terjadi.
e. Mengajarkan
teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang terlalu membiarkan dalam
interaksi mereka.
D. Konseling
Rehabilitasi
Prinsip dasar
profesi konseling rehabilitasi adalah membantu individu penyandang kecacatan
fisik, mental, kognitif dan/atau sensori agar menjadi atau tetap menjadi warga
masyarakat yang mandiri dan produktif dalam lingkungan masyarakat pilihannya
sendiri. Konselor membantu penyandang cacat merespon secara konstruktif
terhadap berbagai tantangan masyarakat, merencanakan karir, dan mendapatkan
atau mempertahankan pekerjaan yang memberi kepuasan (The Virginia Common wealth
University Department of Rehabilitation Counseling, 2005)Pengetahuan khusus
tentang kecacatan dan faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi dengan
kecacatan, serta berbagai pengetahuan dan keterampilan lain di samping
konseling, membedakan konselor rehabilitasi dari jenis-jenis konselor lainnya
(Parker et al, 2004).
Komisi sertifikasi konselor rehabilitasi
(comissionon rehabilitation counselor certification: crcc, 2003c) merumuskan konseling rehabilitasi sebagai:
“Proses sistematik
yang membantu individu penyandang ketidakmampuan fisik, mental, perkembangan, kognitif, dan emosi untuk meraih tujuan hidup
pribadi dan mandirinya dalam kebanyakan tempat yang memungkinkan melalui penerapan
proses konseling. Proses konseling inimelibatkan komunikasi, penetapan tujuan dan
pertumbuhan atau perubahan menguntungkan melalui intervensi advokasi diri, psikologis,
vokasional, sosial, dan behavioral”
Peran dan fungsi konselor
rehabilitasi adalah:
(A) Menilai kebutuhan individu,
(B) Mengembangkan program atau rencana untuk memenuhi kebutuhan yang telah
diidentifikasi tersebut,
(C) Menyediakan atau mengatur layanan, yang dapat mencakup penempatan
kerja dan layanan follow-Up. Keahlian konseling merupakan komponen penting dari
semua aktivitas ini.
Adapun
ruang lingkup praktek konseling rehabilitasi meliputi:
·
Penilaiandanpenghargaan
·
Diagnosadanrencanaperawatan
·
Konselingkarir(vokasional)
·
Intervensi
perawatan konseling individual dan kelompok yang berfokus pada memfasilitasi penyesuaian
terhadap dampak ketidakmampuan medis dan psikososial
·
Manajemen
kasus, referral, dan koordinasi layanan
·
Evaluasi
program dan riset
·
Intervensi
untuk menghilangkan hambatan lingkungan, pekerjaan, dan sikap
·
Layanan
konsultasi antar banyak pihak dan sistem regulasi
·
Analisa
pekerjaan, pengembangan pekerjaan, dan layanan penempatan, termasuk bantuan
untuk pekerjaan dan akomodasi kerja, dan
·
Pembekalan konsultasi
dan akses memasuki teknologi rehabilitasi
·
Filosofi rehabilitasi
merupakan dasar praktek konseling rehabilitasi dalam sejumlah konteks yang luas
dan berkembang.
·
Akhirnya, profesi
konseling rehabilitasi bergulir dari sejarah
awalnya sebagai satu pekerjaan berbasis legislatif yang dipraktekan dalam
jumlah tempat yang terbatas menuju status terkininya sebagai satu profesi yang dipraktekan
dalam tempat beragam yang memberlakukan sistem pemberian layanan yang bergam yang
membidik banyak individu.
Konseling
rehabilitasi adalah pendekatan yang dibatasi waktu dan berorientasi pada outcome
untuk membantu individu penyandang kecacatan fisik, mental, dan emosional
guna memperoleh keterampilan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup,
belajar, dan bekerja dalam masyarakat (Fabian & MacDonald-Wilson - dalam
Parker et al, 2004). Dalam berbagai macam setting, konselor rehabilitasi
berkolaborasi dengan klien dalam mengidentifikasi tujuan karir dan
vokasionalnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut, dan
mengidentifikasi dukungan dan layanan yang tersedia di masyarakat untuk itu.
Selama
sejarah perkembanganya, konseling rehabilitasi telah memperluas ruang lingkup
prakteknya, memasukkan sejumlah seting baru, bekerja dengan bermacam-macam
profesional, dan mengangkat isu pemberdayaan dan pilihan dalam proses
rehabilitasi. Namun demikian, bidang ini tetap berakar pada filosofi yang
mendukung kesempatan dan integrasi bagi individu penyandang cacat. Dalam hal
ini, konselor rehabilitasi diharapkan selalu bekerjasama dengan klien dan
asosiasi profesi lain dalam mengadvokasi untuk hak-hak individu penyandang
cacat.
Secara umum,
ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi adalah membantu individu penyandang
cacat mencapai tujuan personal, karir dan kemandirian hidupnya dalam setting
yang seintegrasi mungkin (CRCC – dalam Parker et al., 2004). Untuk itu,
konselor rehabilitasi menggunakan berbagai metode dan teknik. Secara spesifik,
CRCC mendaftar ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi itu sebagai berikut:
a.
asesmen
dan pengukuran;
b.
diagnosis
dan perencanaan treatment
c.
konseling
karir/vokasional;
d.
intervensi
konseling individual dan kelompok yang difokuskan untuk memfasilitasi
penyesuaian diri klien pada dampak medis dan psikososial kecacatan;
e.
manajemen
kasus, referral, dan koordinasi pelayanan;
f.
evaluasi
program dan penelitian;
g.
intervensi
untuk menghilangkan hambatan lingkungan fisik dan sosial yang dapat mencegah
penyandang cacat memperoleh pekerjaan;
h.
memberikan
layanan konsultasi kepada para pembuat kebijakan;
i.
analisis
dan pengembangan jabatan, termasuk mengakomodasi individu untuk memenuhi tuntutan
pekerjaan; dan
j.
memberikan
konsultasi tentang teknologi rehabilitasi.
The Virginia
Commonwealth University Department of Rehabilitation Counseling (2005)
menggariskan bahwa peran konselor rehabilitasi mencakup: a. Mengevaluasi
potensi individu untuk hidup mandiri dan bekerja;
a.
Mengatur
pelaksanaan perawatan medis dan psikologis, asesmen vokasional, pelatihan dan
penempatan kerja;
b.
Mewawancarai
dan mengadvis individu, menggunakan prosedur asesmen, mengevaluasi laporan
medis dan psikologis, dan berkonsultasi dengan anggota keluarga;
c.
Berunding
dengan dokter, psikolog dan profesional lain tentang jenis-jenis pekerjaan yang
dapat dilakukan individu;
d.
Merekomendasikan
layanan rehabilitasi yang tepat termasuk pelatihan khusus untuk membantu
individu penyandang cacat menjadi lebih mandiri dan lebih siap kerja;
e.
Bekerjasama
dengan pengusaha untuk mengidentifikasi dan/atau memodifikasi kesempatan kerja
dan jenis pelatihan yang memungkinkan; dan
f.
Bekerjasama
dengan individu, organisasi profesi dan kelompok-kelompok advokasi untuk
membahas berbagai hambatan lingkungan dan sosial yang menciptakan halangan bagi
para penyandang cacat.
Kecacatan
merupakan bagian alami dari eksistensi manusia (Smart & Smart, 2006), dan
jumlahnya terus meningkat. Berkat kemajuan ilmu kedokteran dan teknologi,
ketersediaan asuransi kesehatan yang lebih luas, dan standar kehidupan yang
pada umumnya lebih tinggi yang memberikan lebih banyak pelayanan dan dukungan,
orang yang di masa lampau akan meninggal, kini dapat bertahan hidup dengan kecacatan.
Perserikatan Bangsa-bangsa memperkirakan terdapat 500 juta penyandang cacat di
seluruh dunia. Di kebanyakan Negara, sekurang-kurangnya satu dari setiap
sepuluh orang penduduk menyandang kecacatan fisik, mental atau sensori, dan
dalam semua segmen populasi, sekurang-kurangnya 25 persen terpengaruh oleh
adanya kecacatan (UN Enable, 2006). Oleh karena itu, peranan konseling
rehabilitasi menjadi semakin penting.
E. Konseling
Pendidikan
Konseling pendidikan terdiri
atas dua macam bantuan yang berbeda yaitu perencanaan pendidikan bantuan
remedial.
a.
Perencanaan
pendidikan
Dalam perencanaan pendidikan meliputi bantuan kepada klien untuk memilih
tujuan pendidikan yang tepat dan memilih mecam lembaga pendidikan yang paling
tepat. Faktor yang harus dipertimbangkan untuk membantu klien dalam memilih
lembaga pendidikan adalah bakat skolastik, kemampuan keuangan, minat yang
memadai, kebutuhan akan pendidikan umum, dan tujuan jabatan.
Selain itu, perencanaan
pendidikan juga meliputi pembuatan prediksi untuk memperoleh sukses dalam
lembaga pendidikan yang akan dimasuki.
b.
Bantuan
Remedial
Dalam konseling pendidikan, konselor pendidikan akan banyak menghadapi
masalah instruksional. Dalam hal ini, konselor harus dapat mendiagnosa masalah
remediadi untuk menetapkan langkah-langkah diagnosa atau untuk membuat referal
kepada spesialisremedial. Jadi ketrampilan yang harus dimiliki konselor adalah
dalam diagnosa dan remediasi (bantuan remedial).
Dalam
melakukan diagnostik konselor harus menguasai ketrampilan-ketrampilan dasar
diagnostik dan penguasaan alat-alat yang dipergunakan. Diagnostik masalah-masalah
pendidikan harus dimulai dengan pemeriksaan fisik, faktor-faktor motivasional,
dan kemudian pemeriksaan mengenai ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar
yang menentukan hasil belajar.
DAFTAR PUTAKA
Didi Tarsidi. Definisi dan Ruang Lingkup
Praktek Konseling Rehabilitasi. Universitas Pendidikan Indonesia
Sri
Widiati. Konseling Reahabilitas
Latipun, 1996. Psikologi Konseling, Malang: UMM Press.
S,
Mohamad. 1988. Dasar-Dasar
Penyuluhan Konseling. Jakarta:
Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar