Minggu, 16 Juni 2013

PERBANDINGAN BIMBINGAN KELOMPOK DAN KONSELING KELOMPOK


PERBANDINGAN BIMBINGAN KELOMPOK DAN KONSELING KELOMPOK
                                                                                              

Menurut Prayitno (1995: 70) perbandingan aspek-aspek dalam bimbingan kelompok dan konseling kelompok dapat dikelompokkan berdasarkan:
1.      Berdasarkan anggota:
-         Bimbingan kelompok  : dibatasi 10-50 orang
-         Konseling kelompok   : dibatasi sampai sekitar 10 orang
2.      Kondisi dan karakteristik anggota
-         Bimbingan kelompok  : homogen
-         Konseling kelompok   : homogen
3.      Tujuan yang ingin dicapai
-         Bimbingan kelompok  : 1. Pengembangan pribadi, 2. Pembahasan masalah atau topik-topik umum secara luas dan mendalam yang bermanfaat bagi para anggota kelompok.
-         Konseling kelompok   : 1. Pengembangan pribadi, 2. Pembahasan dan pemecahan masalah pribadi yang dialami oleh masing-masing anggota kelompok.
4.      Format kegiatan
-         Bimbingan kelompok  : kelompok kecil
-         Konseling kelompok   : kelompok kecil
5.      Peranan anggota
-         Bimbingan kelompok  : aktif membahas permasalahan atau topik umum tertentu yang hasil pembahasannya berguna bagi para anggota kelompok.
-         Konseling kelompok   : aktif permasalahan tertentu (masalah pribadi) dalam membantu memecahkan masalah kawan sekelompok.
6.      Suasana interaksi
-         Bimbingan kelompok  : interaksi multiarah, mendalam dengan melibatkan aspek kognitif
-         Konseling kelompok   : interaksi multiarah, mendalam dan tuntas dengan melibatkan aspek kognitif, afektif, dan aspek-aspek kepribadian lainnya.
7.      Sifat isi pembicaraan
-         Bimbingan kelompok  : umum, tidak rahasia
-         Konseling kelompok   : pribadi, rahasia
8.      Frekuensi kegiatan
-         Bimbingan kelompok  : kegiatan berkembang sesuai dengan tingkat perubahan dan pendalaman masalah/ topik
-         Konseling kelompok   : kegiatan berkembang sesuai dengan tingkat perubahan dan pemecahan masalah
9.      Evaluasi
-         Bimbingan kelompok  : evaluasi proses (keterlibatkan anggota), evaluasi isi (kedalaman pembahasan), evaluasi dampak (pemahaman dan dampak kegiatan terhadap anggota)
-         Konseling kelompok   : evaluasi proses (keterlibatan anggota), evaluasi isi (kedalaman dan ketuntasan pembahasan), evaluasi dampak (sejauh mana anggota yang masalah pribadinya dibahas merasa mendapatkan alternatif pemecahan masalahnya)
10.   Pelaksana
-         Bimbingan kelompok  : guru pembimbing (ahli)
-         Konseling kelompok   : guru pembimbing (ahli)

Berikut ini adalah bagan persamaan dan perbedaan pelaksanaan tahap-tahap kegiatan dalam bimbingan kelompok dan konseling kelompok:


 






 

















Dari bagan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum tahap-tahap di dalam proses layanan bimbingan kelompok dan konseling kelompok adalah sama, kecuali pada tahap kegiatan. Ini dikarenakan disesuaikan dengan tujuan, unsur, dan aspek-aspek lainnya dari bimbingan kelompok dan konseling kelompok.




DAFTAR PUSTAKA

Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (Dasar dan Profil). Jakarta: Ghalia Indonesia

APLIKASI LAPANGAN KERJA KONSELOR



APLIKASI LAPANGAN KERJA KONSELOR

A.      Konseling Pranikah
Brammer dan Shostrom (1982) mengemukakan tujuan konseling pranikah yaitu membantu patner pranikah (klien) untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang dirinya, masing-masing pasangan, dan tuntutan-tuntutan perkawinan. Tujuan yang bersifat jangka panjang yaitu dikemukakan H. A. Otto (1965), yaitu membantu pasangan pranikah untuk membangun dasar-dasar yang dibutuhkan untuk kehidupan pranikah yang bahagia dan produktif.
Konseling pranikah dianggap penting karena digunakan untuk membuat perencanan yang matang dengan cara melakukan asesmen terhadap dirinya yang dikaitkan dengan perkawinan dan kehidupan berumah tangga.
Aspek yang perlu diasesmen
Aspek yang perlu diasesmen dan dipahami konselor jika melakukan konseling pranikah yaitu sebagai berikut:
a.    Riwayat Perkenalan
Konselor perlu mengetahui riwayat perkenalan pasangan pranikah, mulai dari perkenalan (seberapa lama perkenalan berlangsung), bagaimana merekah mengetahui satu sama lain. Misalnya mengenai pembicaraan tentang nilai, tujuan, dan harapan terhadap hubungan pranikah.
b.    Perbandingan Latar Belakang Pasangan
Kesetaraan latar belakang lebih baik dalam penyesuaian pernikahan dari pada latar belakang yang berbeda. Konselor perlu mengungkapkan latar belakang pendidikan, budaya keluarga, status sosial ekonominya, dan perbedaan agama, serta adat istiadat keluarganya.
c.    Sikap Keluarga Keduanya
Sikap keluarga terhadap rencana pernikahan, termasuk bagaimana sikap mertua dan sanak keluarga terhadap keluarga nantinya. Sikap keluarga penting untuk mempersiapkan pasangan dalam menyikapi masing-masing keluarga calon pasangannya.
d.   Perencanaan Terhadap Pernikahan
Meliputi rumah yang akan ditempati, sistem keuangan keluarga yang hendak disusun dan apa yang dipersiapkan menjelang pernikahan.
e.    Faktor Psikologis dan Kepribadian
Faktor psikologis dan kepribadian yang perlu diasesmen adalah sikap mereka terhadap peran seks dan bagaimana yang hendak dijalankan dikeluarga nanti, bagaimana peran merekah terhadap dirinya (self image, body-image), dan usaha apa yang akan dilakuakn untuk keperluan keluarga nanti.
f.     Sifat Prokreatif
Menyangkut sikap mereka terhadap hubungan seksual dan sikapnya jika memiliki anak. Bagaimana rencana mengasuh anaknya kelak.
g.    Kesehatan dan Kondisi fisik
Kesesuaian usia untuk mengukur kematangan emosionalnya secara usia kronologis, kesehatan secara fisik dan mental, serta faktor-faktor genetik.
Prosedur konseling pranikah
Konseling pranikah diselenggarakan sebagaimana sesuai prosedur konseling perkawinan. Penekanan pada konseling pranikah bersifat antisipatif yaitu mempersiapkan diri untuk menetapkan pilihan yang tepat sehubungan dengan rencana pernikahanya.

B.       Konseling Pernikahan
Konseling perkawinan
Konseling perkawinan memiliki beberapa istilah, yaitu couples counseling, marriage counseling, dan marital counseling.  Klemer (1965) memaknakan konseling perkawinan sebagai konseling yang diselenggarakan sebagai metode pendidikan, metode penurunan ketegangan emosional, metode membantu patner-patner yang menikah untuk memecahkan masalah dan cara menentukan pola pemecahan masalah yang lebih baik.
Perbandingan konseling perkawinan dan keluarga
Perbedaan antara konseling keluarga dan konseling perkawinan dilakukan untuk memberikan penekanan pada masing-masing jenis, berhubungan dengan orang-orang yang terlibat dalam proses konseling. Secara umum, konseling keluarga dibatasi sebagai konseling yang berhubungan dengan masalah-masalah keluarga, misalnya hubungan peran di keluarga, masalah komunikasi, tekanan dan peraturan keluarga, dan ketegangan orang tua-anak. Sementara, konseling perkawinan lebih menekankan pada masalah-masalah pasangan (suami-istri).
Menurut Patterson (1980) kedua konseling tersebut memiliki prosedur yang sama. Konseling perkawinan pada dasarnya sebuah prosedur konseling keluarga yang dikembangkan dari konflik hubungan perkawinan dan menekankan pada hubungan perkawinan tanpa mengabaikan nilai konseling individual. Konseling keluarga dilakukan jika masalah yang dialami oleh anggota keluarga secara jelas tidak dapat dipecahkan tanpa adanya keterlibatan bersama-sama anggota keluarga yang bersangkutan. Yang termasuk dalam masalah keluarga (konflik perkawinan, persaingan sesaudara, dan konflik antar generasi khususnya orang tua-anak).
Permasalahan perkawinan
Menurut Klemer (1995) ada 3 masalah yang mungkin dihadapi dalam konseling perkawinan yaitu sebagai berikut:
1)        Adanya harapan perkawinan yang tidak realistis. Pada saat merencanakan pernikahan pasangan tentunya memiliki harapan-harapan tertentu sehingga menetapkan untuk menikah.
2)        Kurang pengertian antara satu dengan yang lainnya. Pasangan suami istri seharusnya memahami pasangannya masing-masing, tentang kesulitannya, hambatan-hambatannya,dan hal lain yang terkait dengan hal pribadi pasangannya. Jika salah satu atau keduanya tidak saling memahami dapat mengalami kesulitan dalam hubungan perkawinan.
3)        Kehilangan ketetapan untuk membangun keluarga secara langgeng. Sebagai suatu keluarga yang tidak dapat lagi dipertahankan. Sekalipun sudah cukup waktu membangun keluarga, mempertahankan keluarga bagi suatu pasangan sangat sulit. Mereka melihat bahwa mempertahankannya tidak membawa kepuasan sebagaimana yang diharapkan (satisfaction) bagi dirinya.
Hal yang menjadi problem, kurangnya kesetiaan salah satu atau kedua belah pihak, memiliki hubungan ekstramarital pada salah satu atau kedua belah pihak, dan perpisahan di antara pasangan. Problem-problem perkawinan dapat dipecahkan melalui konseling asalkan kedua belah pihak (pasangan) berkeinginan untuk menyelesaikannya. Tetapi jika tidak ada motivasi untuk menyelesaikan persoalan hubungan perkawinannya maka tidak mungkin dapat diatasi melalui konseling.
Tujuan konseling perkawinan
Konseling perkawinan dilaksanakan tidak bermaksud untuk mempertahankan suatu keluarga. Menurut Brammer dan Shostrom (1982) bahwa konseling perkawinan dimaksudkan membantu klien-kliennya untuk mengaktualkan dari yang menjadi perhatian dan masalah pribadi, apakah dengan jalan bercerai/tidak.
Dalam konseling perkawinan, konselor membantu klien (pasangan) untuk melihat realitas yang dihadapi, dan mencoba menyusun keputusan yang tepat bagi keduanya. Keputusannya dapat berbentuk menyatu kembali, berpisah, cerai, untuk mencari kehidupan yang lebih harmoni, dan menimbulkan rasa aman bagi keduanya. Secara lebih rinci tujuan jangka panjang konseling perkawinan menurut Huff dan Miller (Brammerdan Shostorm, 1982) adalah sebagai berikut:
1)   Meningkatkan kesadaran terhadap dirinya dan dapat saling empati di antara partner.
2)   Meningkatkan kesadaran tentang kekuatan dan potensinya masing-masing.
3)   Meningkatkan saling membuka diri.
4)   Meningkatkan hubungan yang lebih intim.
5)   Mengembangkan ketrampilan komunikasi, pemecahan masalah, dan mengelola konfliknya.
Asumsi-asumsi konseling perkawinan
Beberapa asumsi yang mendasari penyelenggaraan konseling perkawinan yaitu sebagai berikut:
a.    Konseling perkawinan lebih menekankan pada hubungan pasangan, bukan pada kepribadian masing-masing partner. Konselor tidak menekankan untuk mengetahui secara mendalam kepribadian setiap klien yang akan datang dan bagaimana hubungan yang terjadi selama ini di antara pasangan tersebut. Konselor melihat ke belakang (aspek kepribadian, termasuk riwayat-riwayat masa lalunya) jika dibolehkan, tetapi menekankan bagaiman sifat kesulitan yang dihadapinya serta menyangkut hubungan kedua belah pihak.
b.    Masalah yang dihadapi kedua belah pihak adalah mendesak (akut), sehingga konseling perkawinan dilaksanakan dengan pendekatan langsung (directive) untuk memecahkan masalah.
c.    Masalah yang dihadapi pasangan adalah masalah-masalah normal. Masalah normal adalah masalah kehidupan pasangan yang umum dialami oleh keluarga, hanya saja keduanya mengalami kesulitan dalam mengatasi konflik-konfliknya.
Tipe-tipe konseling perkawinan
Para ahli membedakan ada empat tipe konseling perkawinan, yaitu concurrent, collaborative, conjoint, dan couples group counseling (Capuzzi dan Gross, 1991).
1)   Concurrent Marital Counseling
Konselor yang sama melakukan konseling secara terpisah pada setiap partner. Metode ini digunakan ketika salah seorang partner memiliki masalah psikis tertentu untuk dipecahkan tersendiri, selain juga mengatasi masalah yang berhubungan dengan pasangannya.
2)   Collaborative Marital Counseling
Setiap partner secara individual menjumpai konselor yang berbeda. Konseling ini terjadi ketika seorang partner lebih suka menyelesaikan masalah hubungan perkawinannya, sementara konselor yang lain menyelesaikan masalah lain yang menjadi perhatian kliennya. Konselor kemudian bekerjasama satu sama lain, membandingkan hasil konselingnya dan merencanakan strategi intervensi yang sesuai.
3)   Conjoint Marital Counseling
Suami istri bersama-sama datang ke konselor. Kemudian kedua partner dimotivasi untuk bekerja dalam hubungan, penekanan pada pemahaman dan modifikasi hubungan. Dalam Conjoint Counseling konselor secara simultan melakukan konseling terhadap kedua partner.
4)   Couples Group Counseling
Beberapa pasangan secara bersama-sama datang ke seorang atau beberapa  konselor. Pendekatan ini sebagai pelengkap conjoint counseling. Cara ini dapat mengurangi kedalaman situasi emosional antara pasangan, selanjutnya mereka belajar dan memelihara perilaku yang lebih rasional dalam kelompok.
Peranan konselor
Dalam konseling perkawinan, terdapat beberapa peran yang harus dilakukan konselor agar konseling dapat berlangsung secara efektif, yaitu:
a.    Menciptakan hubungan (rapport ) dengan klien
b.    Memberi kesempatan kepada klien untuk melakukan ventilasi, yaitu membuka perasaan-perasaannya secara leluasa dihadapan pasangannya
c.    Memberikan dorongan dan menunjukkan penerimaannya kepada kliennya
d.   Melakukan diagnosis terhadap kesulitan-kesulitan klien
e.    Membantu klien untuk menguji kekuatan-kekuatannya, dan mencari kemungkinan alternative dalam menentukan tindakannya.
Langkah-langkah konseling 
Langkah konseling yang dapat dilakukan dalam konseling keluarga dan perkawinan menurut Capuzzi dan Gross (1991) adalah sebagai berikut:
a)    Persiapan, tahap yang dilakukan klien menghubungi konselor.
b)   Tahap keterlibatan (the joining), adalah tahap keterlibatan bersama klien. Pada tahap ini konselor mulai menerima klien secara isyarat (nonverbal) maupun secara verbal, merefleksi perasaan, melakukan klarifikasi dan sebagainya.
c)    Tahap menyatakan masalah, yaitu menetapkan masalah yang dihadapi oleh pasangan. Maka, masalahnya harus jelas, siapa yang bermasalah, apa indikasinya, apa yang telah terjadi dan sebagainya.
d)   Tahap interaksi, yaitu konselor menetapkan pola interaksi untuk penyelesaian masalah. Pada tahap ini anggota keluarga mendapatkan informasi yang diperlukan untuk memahami masalahnya dan konselor dapat melatih anggota keluarga berinteraksi dengan cara-cara yang dapat diikuti (pelan, sederhana, detail dan jelas) dalam kehidupan mereka.
e)    Tahap konferensi, yaitu tahap untuk meramalkan keakuratan hipotesis dan memformulasi langkah-langkah pemecahan. Pada tahap ini konselor mendesain langsung atau memberI pekerjaan rumah untuk melakukan atau menerapkan pengubahan ketidak berfungsinya perkawinan.
f)    Tahap penentuan tujuan, tahap yang dicapai klien telah mencapai perilaku yang normal, telah memperbaiki cara berkomunikasi, telah menaikkan self-esteem dan membuat keluarga lebih kohesif.
g)   Tahap akhir dan penutup, merupakan kegiatan mengakhiri hubungan konseling setelah tujuannya tercapai.
Kesulitan dan keuntungan konseling perkawinan
Konseling perkawinan dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, karena orang yang ditangani adalah bermasalah, dan masalahnya menyangkut hubungan satu dengan yang lainnya. Konselor harus dapat memberikan perhatian yang sama kepada keduanya. Jika, tidak seimbang dalam memberikan perhatian dapat menimbulkan akibat buruk bagi yang merasa kurang memperoleh perhatian. Maka, konselor tidak dibolehkan mengesampingkan salah satu di antara pasangan yang berkonsultasi.
Dalam konseling perkawinan, yang menggunakan conjoint counseling, dapat menimbulkan kesulitan terutama jika kliennya merasa tidak aman, kurang terbuka, karena keduanya bersama-sama hadir dan mendengarkan apa yang dibicarakan oleh partnernya.
Namun, konseling perkawinan (khususnya conjoint ) terdapat beberapa keunggulannya jika dibandingkan dengan konseling individual, di antaranya yaitu:
a)    Konselor dan pasangan klien dapat mengidentifikasi distorsi karena pasangannya mengikuti konseling secara bersama.
b)   Dapat dengan mudah untuk mengetahui konflik-konflik di antara pasangan dan transferensi yang terjadi pada pasangan.
c)    Terfokus pada hubungan pasangan saat ini, dalam pengertian konseling terfokus pada kehidupan sejak awal pernikahannya sampai kehidupan yang terakhir.
C.      Konseling Keluarga
Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan konseling pada situasi yang khusus. Konseling keluarga secara khusus memfokuskan pada masalah yang berhubungan dengan situasi keluarga dan penyelenggaraannya melibatkan anggota keluarga. Menurut D. Stanton konseling keluarga dapat dikatakan sebagai konseling karena konseling keluarga sebagai sebuah modalitas yakni klien adalah anggota dari suatu kelompok, yang dalam proses konseling melibatkan keluarga inti atau pasangan (Capuzzi, 1991).
Awalnya konseling keluarga diarahkan untuk membantu anak agar dapat beradaptasi lebih baik untuk mempelajari lingkungannya melalui perbaikan lingkungan keluarganya (Brammer dan Shostrom, 1982). Sesuai dengan pendapat Golden dan Sherwood (1991), menjelaskan bahwa konseling keluarga merupakan metode yang difokuskan pada keluarga dalam usaha untuk membantu memecahkan problem perilaku anak.
Menurut Crane (1995), konseling keluarga merupakan proses pelatihan terhadap orang tua dalam hal metode mengendalikan perilaku yang positif dan membantu orang tua dalam perilaku yang dikehendaki. Jadi, dalam konseling keluarga yang menjadi unit terapinya yaitu keluarga sehubungan dengan masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga tersebut.
Masalah-masalah keluarga
Pada masa lalu, menurut Moursund (1990), konseling keluarga terfokus pada anak yang mengalami bantuan yang berat seperti gangguan perkembangan dan skizofrenia, yang menunjukan jelas-jelas mengalami gangguan.
Konseling keluarga menangani masalah lain seperti anggota keluarga mengalami kondisi yang kurang harmonis di dalam keluarga akibat stressor perubahan-perubahan budaya, cara baru dalam mengatur keluargannya, dan cara menghadapi dan mendidik anak-anak mereka. Dalam penanganan konseling keluarga, masalah yang dihadapi dan dikonsultasikan kepada konselor antara lain, seperti keluarga dengan anak yang tidak patuh terhadap harapan orang tua, konflik antar anggota keluarga, perpisahan diantara anggota keluarga karena kerja di luar daerah, dan anak yang mengalami kesulitan belajar atau sosialisasi.
Konseling keluarga memiliki beberapa keuntungan. Namun, konseling keluarga juga memiliki beberapa hambatan dalam pelaksanaannya, yaitu sebagai berikut:
1.    Tidak semua anggota keluarga bersedia terlibat dalam proses konseling karena mereka menganggap tidak berkepentingan dengan urusan tersebut, atau karena alasan kesibukan, dan sebagainya.
2.    Ada anggota keluarga yang merasa kasulitan untuk menyampaikan perasaan dan sikapnya secara terbuka dihadapan anggota keluarga lain, padahal konseling membutuhkan keterbukaan dan saling percaya satu sama lain.
Pendekatan konseling keluarga
Tiga pendekatan konseling keluarga yang akan diuraikan berikut ini, yaitu pendekatan sistem, conjoint, dan struktural.
1.    Pendekatan Sistem Keluarga
Murray Bowen merupakan peletek dasar pendekatan sistem. Menurutnya anggota keluarga bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfunctioning family). Keadaan ini terjadi karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang mengatur dalam hubungan mereka.
Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat membuat anggota keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat menghindari sistem keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindari dari keadaan yang tidak fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga (harus membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya).
2.    Pendekatan Conjoint
Menurut Satir (1967) masalah yang dihadapi oleh anggota keluarga berhubungan dengan harga diri (self-esteem) dan komunikasi. Menurutnya, keluarga adalah fungsi penting bagi keperluan komunikasi dan kesehatan mental. Masalah terjadi jika self-esteem yang dibentuk keluarga sangat rendah dan komunikasi di keluarga tidak baik. Satir mengemukakan pandangannya dari asumsi bahwa anggota keluarga menjadi bermasalah jika tidak mampu melihat dan mendengarkan keseluruhan yang dikomunikasikan anggota keluarga yang lain.
3.    Pendekatan Struktural
Minuchin (1974) beranggapan bahwa masalah keluarga sering terjadi karena struktur kaluarga dan pola transaksi yang dibangun tidak tepat. Maka, jika dijumpai keluarga yang bermasalah perlu dirumuskan kembali struktur keluarga dengan memperbaiki transaksi dan pola hubungan yang baru yang lebih sesuai. Berawal dari analisis terhadap masalah yang dialami oleh keluarga maka konselor dapat menetapkan strategi yang tepat untuk mambantu keluarga.
Tujuan konseling keluarga
Bowen menegaskan bahwa tujuan konseling keluarga yaitu memebantu klien untuk mencapai individualista, menjadi dirinya sebagai hal yang berbeda dari sistem keluarga. Tujuan ini relevan dengan pandangan tentang masalah keluarga yang berkaitan dengan kehilangan kebebasan anggota keluarga akibat dari peraturan dan kekuasaan keluarga.
Satir menekankan tujuan konseling mereduksi sikap defensif di dalam dan antar anggota keluarga. Oleh karena itu, anggota keluarga perlu membuka inner experience (pengalaman dalamnya) dengan tidak “membekukan” interaksi antar anggota keluarga.
Minuchin mengemukakan bahwa tujuan konseling keluarga adalah mengubah struktur dalam keluarga, dengan cara menyusun kembali kesatuan dan menyembuhkan perpecahan antara dan sekitar anggota keluarga. Glick dan Kessler (Goldenberg, 1983) mengemukakan tujuan umum konseling keluarga adalah sebagai berikut:
a.    Memfasilitas mengganti gangguan, ketidak-fleksibelan peran dan kondisi
b.    Memberi pelayanan sebagai model dan pendidik peran tententu yang ditunjukkan kepada anggota lainnya
Bentuk konseling keluarga
Kecenderungan pelaksanaan konseling keluarga adalah sebagai berikut:
a.    Memandang klien sebagai pribadi dalam konteks sistem keluarga. Klien merupakan bagian dari sistem keluarga, sehingga masalah yang di alami dan pemecahannya tidak dapat mengesampingkan peran keluarga.
b.    Berfokus pada apa yang diatasi dalam konseling keluarga adalah masalah-masalah yang dihadapi klien pada saat ini, bukan masa lalu. Oleh karena itu, masalah yang diselesaikan bukan pertumbuhan personal yang bersifat jangka panjang.
Bentuk dari konseling keluarga dapat terdiri dari ayah, ibu, dan anak sebagai bentuk konvensionalnya. Selain itu juga bentuk konseling keluarga dikembangkan dalam bentuk lain, misalnya ayah dan anak laki-laki, ibu dan anak perempuan, ayah dan anak perempuan, ibi dan anak laki-laki, dan sebagainya (Ohlson, 1977).
Peran konselor
Peran konselor dalam membantu klien dalam konseling keluarga dan perkawinan dikemukakan oleh Satir (Cottone, 1992) di antaranya sebagai berikut:
1)   Konselor berperan sebagai “facilitative a comfortable”, membantu klien melihat secara jelas dan objektif dirinya dan tindakan-tindakannya sendiri.
2)   Konselor menggunakan perlakuan atau treatment melalui setting peran interaksi
3)   Berusaha menghilangkan pembelaan diri dan keluarga
4)   Membelajarkan klien untuk berbuat secara dewasa dan untuk bertanggung jawab dan malakukan self-control
5)   Konselor menjadi penengah dari pertentangan atau kesenjangan komunikasi dan menginterpretasi pesan-pesan yang disampaikan klien atau anggota keluarga
6)   Konselor menolak pembuatan penilaian dan membantu menjadi congruence dalam respon-respon anggota keluarga
Proses dan tahapan konseling keluarga
Awalnya seorang klien datang ke konselor pertama kali bersifat “identifikasi pasien”. Tetapi untuk tahap penanganan  (treat) diperlukan kehadiran anggotannya. Karena tidak mungkin mendengarkan peran, status, nilai, dan norma keluarga jika tidak ada kehadiran angota keluarganya (Menurut Satir). Pelaksanaan konseling walaupun bersifat spekulatif, pelaksanaannya dapat dilakukan secara kombinatif setelah konseling individual lalu dengan kelompok dan sebaliknya (Brammer dan Shostrom, 1982).
Tahapan konseling keluarga secara garis besar dikemukakan oleh Crane (1995:231-232) yang mencoba menyusun tahapan konseling keluarga untuk mengatasi anak berperilaku oposisi. Dalam mengatasi problem, Crane menggunakan pendekatan behavioral, yang disebutkan terhadap empat tahap secara berturut-turut yaitu sebagai berikut:
1)   Orangtua membutuhkan untuk dididik dalam bentuk perilaku-perilaku alternatif. Hal ini dapat dilakukan dengan kombinasi tugas-tugas membaca dan sesi pengajaran
2)   Setelah orang tua membaca tentang prinsip dan telah dijelaskan materinya, konselor menunjukan kepada orang tua bagaimana cara mengajarkan kepada anak, sedangkan orang tua melihat bagaimana melakukannya sebagai ganti pembicaraan tentang bagaimana hal ini dikerjakan.
Secara tipikal, orang tua akan membutuhkan contoh yang menunjukan bagaimana mengkonfrontasikan anak-anak yang beroposisi. Sangat penting menunjukan kepada orang tua yang kesulitan dalam memahami dan menetapkan cara yang tepat dalam memperlakukan anaknya.
3)   Selanjutnya orang tua mencoba mengimplementasikan prinsip-prinsip yang telah mereka pelajari menggunakan situasi sessi terapi. Terapis selama ini dapat memberi koreksi ika dibutuhkan.
4)   Setelah terapis memberi contoh kepada orang tua cara menangani anak secara tepat. Setelah mempelajari dalam situasi terapi, orang tua mencoba menerapkannya di rumah. Saat dicoba di rumah, konselor dapat melakukan kunjungan untuk mengamati kemajuan yang dicapai. Permasalahan dan pertanyaan yang dihadapi orang tua dapat ditanyakan pada saat ini. Jika masih diperlukan penjelasan lebih lanjut, terapis dapat memberikan contoh lanjutan di rumah dan observasi orang tua, selanjutnya orang tua mencoba sampai mereka merasa dapat menangani kesulitannya mengatasi persoalan sehubungan dengan masalah anaknya.
Kesalahan umum dalam konseling keluarga
Crane (1995) mengemukakan sejumlah kesalahan umum dalam penyelenggaraan konseling keluarga diantaranya sebagai berikut:
a.    Tidak berjumpa dengan seluruh keluarga untuk mendiskusikan masalah yang dihadapi. Yang baik seluruh anggota keluarga terlibat dalam konseling.
b.    Pertama orang tua dan anka datang ke konselor bersama-sama, yang baik yaitu mengajak anak untuk berbicara, memperhatikan apa yang mereka kemukakan, dan meresponnya secara tepat.
c.    Mengilmiahkan dan mendiskusikan masalah kepada orang tua dan bukan menunjukkan cara penanganan masalah aynag dihadapi dalam situasi kehidupan yang nyata.
d.   Melihat untuk menjelaskan perilaku anak dan orang tua, bukan mengajarkan cara untuk memperbaiki masalah yang terjadi.
e.    Mengajarkan teknik modifikasi perilaku pada keluarga yang terlalu membiarkan dalam interaksi mereka. 

D.      Konseling Rehabilitasi
Prinsip dasar profesi konseling rehabilitasi adalah membantu individu penyandang kecacatan fisik, mental, kognitif dan/atau sensori agar menjadi atau tetap menjadi warga masyarakat yang mandiri dan produktif dalam lingkungan masyarakat pilihannya sendiri. Konselor membantu penyandang cacat merespon secara konstruktif terhadap berbagai tantangan masyarakat, merencanakan karir, dan mendapatkan atau mempertahankan pekerjaan yang memberi kepuasan (The Virginia Common wealth University Department of Rehabilitation Counseling, 2005)Pengetahuan khusus tentang kecacatan dan faktor-faktor lingkungan yang berinteraksi dengan kecacatan, serta berbagai pengetahuan dan keterampilan lain di samping konseling, membedakan konselor rehabilitasi dari jenis-jenis konselor lainnya (Parker et al, 2004).
Komisi sertifikasi konselor rehabilitasi (comissionon rehabilitation counselor certification: crcc, 2003c)  merumuskan konseling rehabilitasi sebagai:
“Proses sistematik yang membantu individu penyandang ketidakmampuan fisik, mental, perkembangan,  kognitif, dan emosi untuk meraih tujuan hidup pribadi dan mandirinya dalam kebanyakan tempat yang memungkinkan melalui penerapan proses konseling. Proses konseling inimelibatkan komunikasi, penetapan tujuan dan pertumbuhan atau perubahan menguntungkan melalui intervensi advokasi diri, psikologis, vokasional, sosial, dan behavioral”
Peran dan fungsi konselor rehabilitasi adalah:
(A) Menilai kebutuhan individu,
(B)  Mengembangkan program atau rencana untuk memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi tersebut,
(C)  Menyediakan atau mengatur layanan, yang dapat mencakup penempatan kerja dan layanan follow-Up. Keahlian konseling merupakan komponen penting dari semua aktivitas ini.
Adapun ruang lingkup praktek konseling rehabilitasi meliputi:
·         Penilaiandanpenghargaan
·         Diagnosadanrencanaperawatan
·         Konselingkarir(vokasional)
·         Intervensi perawatan konseling individual dan kelompok yang berfokus pada memfasilitasi penyesuaian terhadap dampak ketidakmampuan medis dan psikososial
·         Manajemen kasus, referral, dan koordinasi layanan
·         Evaluasi program dan riset
·         Intervensi untuk menghilangkan hambatan lingkungan, pekerjaan, dan sikap
·         Layanan konsultasi antar banyak pihak dan sistem regulasi
·         Analisa pekerjaan, pengembangan pekerjaan, dan layanan penempatan, termasuk bantuan untuk pekerjaan dan akomodasi kerja, dan
·         Pembekalan konsultasi dan akses memasuki teknologi rehabilitasi
·         Filosofi rehabilitasi merupakan dasar praktek konseling rehabilitasi dalam sejumlah konteks yang luas dan berkembang.
·         Akhirnya, profesi konseling rehabilitasi bergulir dari sejarah  awalnya sebagai satu pekerjaan berbasis legislatif yang dipraktekan dalam jumlah tempat yang terbatas menuju status terkininya sebagai satu profesi yang dipraktekan dalam tempat beragam yang memberlakukan sistem pemberian layanan yang bergam yang membidik banyak individu.
Konseling rehabilitasi adalah pendekatan yang dibatasi waktu dan berorientasi pada outcome untuk membantu individu penyandang kecacatan fisik, mental, dan emosional guna memperoleh keterampilan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup, belajar, dan bekerja dalam masyarakat (Fabian & MacDonald-Wilson - dalam Parker et al, 2004). Dalam berbagai macam setting, konselor rehabilitasi berkolaborasi dengan klien dalam mengidentifikasi tujuan karir dan vokasionalnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut, dan mengidentifikasi dukungan dan layanan yang tersedia di masyarakat untuk itu.
Selama sejarah perkembanganya, konseling rehabilitasi telah memperluas ruang lingkup prakteknya, memasukkan sejumlah seting baru, bekerja dengan bermacam-macam profesional, dan mengangkat isu pemberdayaan dan pilihan dalam proses rehabilitasi. Namun demikian, bidang ini tetap berakar pada filosofi yang mendukung kesempatan dan integrasi bagi individu penyandang cacat. Dalam hal ini, konselor rehabilitasi diharapkan selalu bekerjasama dengan klien dan asosiasi profesi lain dalam mengadvokasi untuk hak-hak individu penyandang cacat.
Secara umum, ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi adalah membantu individu penyandang cacat mencapai tujuan personal, karir dan kemandirian hidupnya dalam setting yang seintegrasi mungkin (CRCC – dalam Parker et al., 2004). Untuk itu, konselor rehabilitasi menggunakan berbagai metode dan teknik. Secara spesifik, CRCC mendaftar ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi itu sebagai berikut:
a.    asesmen dan pengukuran;
b.    diagnosis dan perencanaan treatment
c.    konseling karir/vokasional;
d.   intervensi konseling individual dan kelompok yang difokuskan untuk memfasilitasi penyesuaian diri klien pada dampak medis dan psikososial kecacatan;
e.    manajemen kasus, referral, dan koordinasi pelayanan;
f.     evaluasi program dan penelitian;
g.    intervensi untuk menghilangkan hambatan lingkungan fisik dan sosial yang dapat mencegah penyandang cacat memperoleh pekerjaan;
h.    memberikan layanan konsultasi kepada para pembuat kebijakan;
i.      analisis dan pengembangan jabatan, termasuk mengakomodasi individu untuk memenuhi tuntutan pekerjaan; dan
j.      memberikan konsultasi tentang teknologi rehabilitasi.
The Virginia Commonwealth University Department of Rehabilitation Counseling (2005) menggariskan bahwa peran konselor rehabilitasi mencakup: a. Mengevaluasi potensi individu untuk hidup mandiri dan bekerja;
a.    Mengatur pelaksanaan perawatan medis dan psikologis, asesmen vokasional, pelatihan dan penempatan kerja;
b.    Mewawancarai dan mengadvis individu, menggunakan prosedur asesmen, mengevaluasi laporan medis dan psikologis, dan berkonsultasi dengan anggota keluarga;
c.    Berunding dengan dokter, psikolog dan profesional lain tentang jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan individu;
d.   Merekomendasikan layanan rehabilitasi yang tepat termasuk pelatihan khusus untuk membantu individu penyandang cacat menjadi lebih mandiri dan lebih siap kerja;
e.    Bekerjasama dengan pengusaha untuk mengidentifikasi dan/atau memodifikasi kesempatan kerja dan jenis pelatihan yang memungkinkan; dan
f.     Bekerjasama dengan individu, organisasi profesi dan kelompok-kelompok advokasi untuk membahas berbagai hambatan lingkungan dan sosial yang menciptakan halangan bagi para penyandang cacat.
Kecacatan merupakan bagian alami dari eksistensi manusia (Smart & Smart, 2006), dan jumlahnya terus meningkat. Berkat kemajuan ilmu kedokteran dan teknologi, ketersediaan asuransi kesehatan yang lebih luas, dan standar kehidupan yang pada umumnya lebih tinggi yang memberikan lebih banyak pelayanan dan dukungan, orang yang di masa lampau akan meninggal, kini dapat bertahan hidup dengan kecacatan. Perserikatan Bangsa-bangsa memperkirakan terdapat 500 juta penyandang cacat di seluruh dunia. Di kebanyakan Negara, sekurang-kurangnya satu dari setiap sepuluh orang penduduk menyandang kecacatan fisik, mental atau sensori, dan dalam semua segmen populasi, sekurang-kurangnya 25 persen terpengaruh oleh adanya kecacatan (UN Enable, 2006). Oleh karena itu, peranan konseling rehabilitasi menjadi semakin penting.

E.       Konseling Pendidikan
Konseling pendidikan terdiri atas dua macam bantuan yang berbeda yaitu perencanaan pendidikan bantuan remedial.
a.    Perencanaan pendidikan
Dalam perencanaan pendidikan meliputi bantuan kepada klien untuk memilih tujuan pendidikan yang tepat dan memilih mecam lembaga pendidikan yang paling tepat. Faktor yang harus dipertimbangkan untuk membantu klien dalam memilih lembaga pendidikan adalah bakat skolastik, kemampuan keuangan, minat yang memadai, kebutuhan akan pendidikan umum, dan tujuan jabatan.
   Selain itu, perencanaan pendidikan juga meliputi pembuatan prediksi untuk memperoleh sukses dalam lembaga pendidikan yang akan dimasuki.
b.    Bantuan Remedial
Dalam konseling pendidikan, konselor pendidikan akan banyak menghadapi masalah instruksional. Dalam hal ini, konselor harus dapat mendiagnosa masalah remediadi untuk menetapkan langkah-langkah diagnosa atau untuk membuat referal kepada spesialisremedial. Jadi ketrampilan yang harus dimiliki konselor adalah dalam diagnosa dan remediasi (bantuan remedial).
Dalam melakukan diagnostik konselor harus menguasai ketrampilan-ketrampilan dasar diagnostik dan penguasaan alat-alat yang dipergunakan. Diagnostik masalah-masalah pendidikan harus dimulai dengan pemeriksaan fisik, faktor-faktor motivasional, dan kemudian pemeriksaan mengenai ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar yang menentukan hasil belajar.

DAFTAR PUTAKA

Didi Tarsidi. Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi. Universitas Pendidikan Indonesia
Sri Widiati. Konseling Reahabilitas
Latipun, 1996. Psikologi Konseling, Malang: UMM Press.
S, Mohamad. 1988. Dasar-Dasar Penyuluhan  Konseling. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan